Kamis, 28 Februari 2013

Mamalia Hutan Solear Tanggerang, Banten


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Solear terletak di wilayah administratif Kabupaten Tangerang, yakni salah satu kabupaten di Provinsi Banten, terletak di desa Solear kecamatan Solear - Kabupaten Tangerang. Secara geografis kabupaten Tangerang terletak di antara 1060 37’ 00’ Bujur Timur dan 060 22’ 00’ Lintang Selatan, berbatasan dengan kabupaten Bogor Jawa Barat di sebelah selatan, Laut Jawa di sebelah utara, DKI Jakarta disebelah timur dan kabupaten Serang disebelah barat. Hutan Solear terletak di kampung Solear Kramat dengan luas areal hutan 4,2 ha. Kampung Solear Kramat berbatasan dengan kampung Konar Lebak dan kampung Kamarang, kecamatan Kopo kabupaten Serang yang di batasi sungai Cidurian. Di sebelah utara adalah perkampungan penduduk dan kebun rakyat, sedangkan diwilayah timur dan barat hutan Solear adalah persawahan dan rumah penduduk.
Kampung Solear di kenal sebagai tempat perziarahan, sehingga wilayah hutan Solear lebih di kenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Kramat Solear. Padahal selain makam yang ada di wilayah tersebut tidak kalah menariknya ada di lahan 4,2 Hektar ( Ha ) yang ditumbuhi tanaman hutan yang beraneka ragam dengan tutupan vegetasinya yang rapat. Selain kehidupan flora yang mendukung disana terdapat juga beberapa jenis fauna yang tinggal dan mendominasi hutan Solear.

1.2 Tujuan Penelitian
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui kelimpahan mamalia yang tersebar di hutan Keramat Solear tahun 2012.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini beserta interaksinya  (BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu areal dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ledwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman.
BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu:
1)      Keanekargaman ekosistem: keanekaan bentuk dan susunan bentang alam daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dalam lingkungan fisiknya.
2)      Keanekaragaman jenis: keanekaan jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan.
3)      Keanekaragaman genetik: keanekaan individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetik antara individu. Keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari suatu komunitas.
            Keanekaragaman jenis merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam ekologi, baik teori maupun terapan sehingga ahli ekologi harus mengetahui cara mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya (Odum 1971).


2.2 Bio-Ekologi Mamalia
Mamalia merupakan kelompok yang memiliki kelas tertinggi dalam dunia hewan. Pada umumnya mamalia dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu mamalia kecil dan mamalia besar. Mamalia kecil adalah mamalia yang memiliki berat badan berkisar antara 2 g - 5 kg. Jenis-jenis mamalia kecil antara lain adalah  kelelawar (Chiroptera), bajing dan tikus (Rodentia), tupai (Scadentia). Sedangkan  mamalia besar adalah mamalia yang berat badannya diatas 5 kg (Bouliere 1975).
Taksonomi mamalia menurut Jasin (1992) adalah sebagai berikut:
·         Kingdom         : Animalia
·         Sub Kingdom  : Metazoa 
·         Filum               : Chordata
·         Sub Filum        : Craniata
·         Klas                 : Mamalia
Selanjutnya Jasin (1992) menyebutkan bahwa kelas mamalia sendiri terbagi menjadi tiga sub kelas, yaitu:
1)      Sub kelas Prototheiria, yang hanya terdiri dari satu ordo, yaitu monotremata
2)      Sub kelas Allotheria (sudah punah)
3)      Sub kelas Theria, yang terdiri dari 27 ordo, yaitu Marsupialia, Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata,  Tillodontia (sudah punah), Taediodota (sudah punah), Edentata (Xanathra), Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Cetacea, Carnivora, Condylartha, Litopterma, Notoungulata, Astrapotheria, Tubulidentata, Pantodonta, Dinocerata, Pyirotheria, Proboscidea, Embrithopoda, Hyracoida, Sirenia, Prissodactyla, dan Artiodactyla.
Mamalia yang ada di Indonesia terdiri dari 15 ordo, yaitu Monotremata,  Marsupilalia, Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Catacea, Carnivora, Proboscieda, Sirenia, Prissodactyla, Artiodactyla. Ordo yang terdapat di Malaya (termasuk Sumatera) dan Singapura terdiri dari 9 ordo, yaitu Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Pholidota, Rodentia, Proboscidea, Prissondactyla, dan Artiodactyla.
Ciri-ciri khusus mamalia sebagai berikut (Medway 1978):
1)      Tubuh biasanya diliputi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.
2)      Ekor umumnya panjang dan dapat digerak-gerakkan.
3)      Memiliki empat anggota kaki (kecuali Anjing laut dan Singa laut tidak  memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang bermacam-macam bentuknya yang disesuaikan dengan keperluan.
4)      Penapasan hanya dengan paru-paru, hasil ekskresi berupa urine.
5)       Suhu tubuh tetap.
6)      Hewan jantan mempunyai alat kopulasi berupa penis, fertilasi terjadi didalam ubuh betina.
Penyebaran mamalia mempunyai kecendrungan untuk dibatasi oleh penghalang-penghalang fisik seperti sungai, samudera, dan gunung, serta oleh penghalang ekologis seperti batas tipe hutan dan adanya jenis saingan yang telah menyesuaikan secara optimal dengan habitatnya sekarang. Sehingga penghalang-penghalang fisik itu dapat digunakan untuk menarik batas geografis fauna sepanjang batas fisik atau ekologis (Alikodra 1990).






BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Hutan Keramat Solear Tanggerang Banten pada tanggal 21-23 Desember 2012
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan tiga kali pengamatan diwilayah hutan Solear penentuan jenis dan jumlah individu mamalia dilakukan berdasarkan metode Broad survey yaitu dengan melakukan penjelajahan hutan di setiap jalur yang sudah ada serta penjumpaan visual di lokasi survey selama delapan jam dengan asumsi setiap individu yang teramati adalah individu yang berbeda. Survey dilakukan dengan memasuki kawasan secara langsung. Alat yang digunakan selama pengamatan adalah binocular, counter dan kamera digital untuk melihat jenis dari mamalia tersebut. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-wiener dan kemerataan jenis Pielou (Ludwig & Reynolds 1988).








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
 Hasil

E = H’/Ln(3)

H’ = Σ piLnPi

Untuk mengetahui kelimpahan mamalia dilihat dari indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (E) mamalia di hutan Keramat Solear  digunakan rumus sebagai berikut:
                                                                                     


Tabel 1. Hasil Mamalia Hutan Solear
No
Spesies
Jumlah
pi
LnPi
piLnPi
pi2
n(n-1)
1
Macaca fasicularis
299
0.9934
-0.00667
-0.0066
0.9868
89102
2
Tupaia javanica
1
0.0033
-5.70711
-0.0190
0.0000
0
3
Paradoxurus hermaphroditus
1
0.0033
-5.70711
-0.0190
0.0000
0
Jumlah spesies
3
-0.0445
Jumlah individu
301
Indeks keanekaragaman H'
0.0445
rendah
Indeks kemerataan E
0.0405
rendah
           
Keterangan:  Indeks  keanekaragaman (H’)
·         H’ < 1  = Rendah
·         H’ < 3,3 = Sedang
·         H’ > 3,3 = Tinggi
                        Indeks Kemerataan (E)
·         E < 0,3 = Rendah
·         E = 0,3-06 = Sedang
·         E > 0,6 = Tinggi

Dari tabel dan grafik di atas dapat di lihat bahwa kelimpahan jenis mamalia di daerah hutan Solear hanya terdapat tiga spesies yaitu monyet ekor panjang (macaca facicularis), tupai (Tupaia javanica) dan  musang pandan (Paradoxurus hermaphrodites). Jumlah individu tertinggi di daerah hutan solear adalah jenis dari monyet ekor panjang (macaca facicularis) yaitu 299 ekor. Jumlah individu terkecil adalah jenis tupai (Tupaia javanica) dan  musang pandan (Paradoxurus hermaphrodites) yaitu 1 ekor. Pengujian terhadap nilai indeks keanekaragaman mamalia di hutan Solear, didapatkan nilai-nilai pada indeks keanekaragaman sebesar 0.0445 dan nilai indeks kemerataan sebesar 0.0405. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat diketahui bahwa, keanekaragaman mamalia di hutan Solear di kategorikan rendah.
Pembahasan
            Nilai indeks keanekaragaman Shanon Wiener menunjukan bahwa keanekaragaman jenis mamalia di kawasan hutan Solear tergologong rendah (Tabel 1). Menurut Soerianegara (1996) keanekaragaman jenis dikatakan tinggi bila memiliki nilai indeks Shanon Wiener lebih dari 3,5. Faktor yang mempengaruhi rendahnya keanekaragaman mamalia di hutan Solear bisa diakibatkan  karena luas wilayah nya yang sempit hanya 4,2 ha. Faktor luasan mempengaruhi nilai indeks yang dimiliki (Zorenko & Leontyeva, 2003). Selain itu kondisi hutan Solear cenderung telah terganggu karena hutan yang difungsikan juga sebagai tempat ziarah sehingga banyak masyarakat atau pengunjung dari luar kota yang datang serta banyaknya pedagang yg ada di dalam hutan tersebut yang menawarkan dagangan mereka ke pengunjung mengakibatkan sampah dari dagangan mereka berserakan di dalam hutan. Hal ini yang menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat bertahan dalam kondisi yang terganggu. Tobing (2002) menyatakan bahwa jenis yang dapat beradaptasi pada gangguan maka akan tetap lestari. Terlihat spesies jenis Macaca facicularis jumlahnya lebih dominan dibandingkan spesies dengan jenis yang lainnya karena Macaca facicularis dapat beradaptasi dengan kondisi hutan tersebut. Selain itu lokasi hutan dekat dengan pemukiman penduduk, maka banyak warga yang menebang beberapa pohon yang berada di hutan Solear untuk di manfaatkan kayunya sebagai nilai ekonomi untuk mereka. Penebangan pohon juga menjadi salah satu faktor yang mengganggu habitat fauna di sana khusus nya untuk jenis mamalia yang keanekaragamannya di golongkan rendah. Fitria (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman suatu tipe habitat dan kualitas habitat akan berpengaruh terhadap jumlah jenis satwa liar. Indikator habitat yang baik adalah tersedianya sumber pakan yang cukup, baik dari segi kelimpahan jenis maupun jumlah (Heriyanto & Iskandar, 2004).











BAB V
KESIMPULAN
            Dari penelitian yang dilakukan selama tiga hari di hutan Solear dapat di simpulkan bahwa jenis mamalia yang ditemukan pada hutan tersebut hanya terdapat tiga spesies yaitu monyet ekor panjang (macaca facicularis), tupai (Tupaia javanica) dan  musang pandan (Paradoxurus hermaphrodites). Mamalia hutan Solear tergolong rendah hal itu di sebabkan karena beberapa faktor diantaranya luas hutan yang sempit, gangguan dari manusia berupa sampah yang berserakan di dalam hutan dan penebangan pohon secara liar sehingga mengganggu habitat satwa disana khususnya jenis mamalia.














DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Hal: 31-54.
BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: BAPPENAS.
Bourliere F. 1975. Ecology of Population. Macmillan Publishing Co, Inc. New York.
Faldhamer GA, LC Drickamer, SH Vessey and JF Merritt. 1999. Mammalogy: Adaptation, Diversity and Ecology. Boston: McGraw-Hill.
Fithria, A. 2003. Keanekaragaman jenis satwa liar di areal hutan PT. Elbana Abadi Jaya Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Rimba Kalimantan 9(1): 63-67
Heriyanto, NM. & S. Iskandar. 2004. Status populasi dan habitat surili (Presbytis comate) di kompleks hutan Kalajaten, Karang ranjang, Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1 (1): 89-98
Jasin M. 1992. Zoologi Vertebrata untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. New York: John wilwy & Sons.
Odum EP. 1997. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Management Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tobing, ISL. 2002. Respon Primata terhadap kehadiran manusia di kawasan Cikanik, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 6(1): 99-105
Zorenko, T. & T. Leotyeva. 2003. Species diversity and distribution of mammals in Riga. Acta Zoologica Lituanica 13(1):78-86



Sekilas Info


kenapa suku batak memiliki suara yang bagus saat bernyanyi?
karena mereka memiliki rongga sinus wajah yang besar di bandingkan suku lain itu adalah salah satu faktor suara.