BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Solear terletak di wilayah administratif Kabupaten
Tangerang, yakni salah satu kabupaten di Provinsi Banten, terletak di desa
Solear kecamatan Solear - Kabupaten Tangerang. Secara geografis kabupaten
Tangerang terletak di antara 1060 37’ 00’ Bujur Timur dan 060 22’ 00’ Lintang
Selatan, berbatasan dengan kabupaten Bogor Jawa Barat di sebelah selatan, Laut
Jawa di sebelah utara, DKI Jakarta disebelah timur dan kabupaten Serang
disebelah barat. Hutan Solear terletak di kampung Solear Kramat dengan luas
areal hutan 4,2 ha. Kampung Solear Kramat berbatasan dengan kampung Konar Lebak
dan kampung Kamarang, kecamatan Kopo kabupaten Serang yang di batasi sungai
Cidurian. Di sebelah utara adalah perkampungan penduduk dan kebun rakyat,
sedangkan diwilayah timur dan barat hutan Solear adalah persawahan dan rumah
penduduk.
Kampung Solear di kenal sebagai tempat perziarahan, sehingga
wilayah hutan Solear lebih di kenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan
Kramat Solear. Padahal selain makam yang ada di wilayah tersebut tidak kalah
menariknya ada di lahan 4,2 Hektar ( Ha ) yang ditumbuhi tanaman hutan yang
beraneka ragam dengan tutupan vegetasinya yang rapat. Selain kehidupan flora
yang mendukung disana terdapat juga beberapa jenis fauna yang tinggal dan
mendominasi hutan Solear.
1.2 Tujuan Penelitian
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui kelimpahan mamalia
yang tersebar di hutan Keramat Solear tahun 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity)
adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini beserta interaksinya
(BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati
memliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis
dari suatu areal dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu
individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki
nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks
kemerataan jenis. Ledwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan
menjadi satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman.
BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait
dengan keanekaragaman hayati, yaitu:
1) Keanekargaman ekosistem: keanekaan
bentuk dan susunan bentang alam daratan maupun perairan, dimana makhluk atau
organisme hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dalam lingkungan fisiknya.
2) Keanekaragaman jenis: keanekaan
jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan.
3) Keanekaragaman genetik: keanekaan
individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetik antara
individu. Keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari
suatu komunitas.
Keanekaragaman
jenis merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam ekologi, baik teori
maupun terapan sehingga ahli ekologi harus mengetahui cara mengukur
keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya (Odum 1971).
2.2 Bio-Ekologi Mamalia
Mamalia merupakan kelompok yang memiliki kelas tertinggi
dalam dunia hewan. Pada umumnya mamalia dibagi ke dalam dua kelompok besar,
yaitu mamalia kecil dan mamalia besar. Mamalia kecil adalah mamalia yang
memiliki berat badan berkisar antara 2 g - 5 kg. Jenis-jenis mamalia kecil
antara lain adalah kelelawar
(Chiroptera), bajing dan tikus (Rodentia), tupai (Scadentia). Sedangkan mamalia besar adalah mamalia yang berat
badannya diatas 5 kg (Bouliere 1975).
Taksonomi mamalia menurut Jasin (1992) adalah sebagai
berikut:
·
Kingdom : Animalia
·
Sub
Kingdom : Metazoa
·
Filum : Chordata
·
Sub
Filum : Craniata
·
Klas : Mamalia
Selanjutnya Jasin (1992) menyebutkan bahwa kelas mamalia
sendiri terbagi menjadi tiga sub kelas, yaitu:
1) Sub kelas Prototheiria, yang hanya
terdiri dari satu ordo, yaitu monotremata
2) Sub kelas Allotheria (sudah punah)
3) Sub kelas Theria, yang terdiri dari
27 ordo, yaitu Marsupialia, Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Tillodontia (sudah punah), Taediodota (sudah
punah), Edentata (Xanathra), Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Cetacea,
Carnivora, Condylartha, Litopterma, Notoungulata, Astrapotheria, Tubulidentata,
Pantodonta, Dinocerata, Pyirotheria, Proboscidea, Embrithopoda, Hyracoida,
Sirenia, Prissodactyla, dan Artiodactyla.
Mamalia yang ada di Indonesia terdiri dari 15 ordo, yaitu
Monotremata, Marsupilalia, Insektivora,
Dermopyera, Chiroptera, Primata, Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Catacea,
Carnivora, Proboscieda, Sirenia, Prissodactyla, Artiodactyla. Ordo yang
terdapat di Malaya (termasuk Sumatera) dan Singapura terdiri dari 9 ordo, yaitu
Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Pholidota, Rodentia, Proboscidea,
Prissondactyla, dan Artiodactyla.
Ciri-ciri khusus mamalia sebagai berikut (Medway 1978):
1) Tubuh biasanya diliputi rambut yang
lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar
susu.
2) Ekor umumnya panjang dan dapat
digerak-gerakkan.
3) Memiliki empat anggota kaki (kecuali
Anjing laut dan Singa laut tidak memiliki
kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang
bermacam-macam bentuknya yang disesuaikan dengan keperluan.
4) Penapasan hanya dengan paru-paru,
hasil ekskresi berupa urine.
5) Suhu tubuh tetap.
6) Hewan jantan mempunyai alat kopulasi
berupa penis, fertilasi terjadi didalam ubuh betina.
Penyebaran mamalia mempunyai kecendrungan untuk dibatasi
oleh penghalang-penghalang fisik seperti sungai, samudera, dan gunung, serta
oleh penghalang ekologis seperti batas tipe hutan dan adanya jenis saingan yang
telah menyesuaikan secara optimal dengan habitatnya sekarang. Sehingga
penghalang-penghalang fisik itu dapat digunakan untuk menarik batas geografis
fauna sepanjang batas fisik atau ekologis (Alikodra 1990).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Hutan Keramat Solear Tanggerang
Banten pada tanggal 21-23 Desember 2012
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan tiga kali pengamatan diwilayah hutan
Solear penentuan jenis dan jumlah individu mamalia dilakukan berdasarkan metode
Broad survey yaitu dengan melakukan
penjelajahan hutan di setiap jalur yang sudah ada serta penjumpaan visual di
lokasi survey selama delapan jam dengan asumsi setiap individu yang teramati
adalah individu yang berbeda. Survey dilakukan dengan memasuki kawasan secara
langsung. Alat yang digunakan selama pengamatan adalah binocular, counter dan
kamera digital untuk melihat jenis dari mamalia tersebut. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-wiener dan kemerataan jenis
Pielou (Ludwig & Reynolds 1988).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
E = H’/Ln(3)
|
H’ = Σ piLnPi
|
Tabel 1. Hasil Mamalia Hutan Solear
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
pi
|
LnPi
|
piLnPi
|
pi2
|
n(n-1)
|
1
|
Macaca fasicularis
|
299
|
0.9934
|
-0.00667
|
-0.0066
|
0.9868
|
89102
|
2
|
Tupaia
javanica
|
1
|
0.0033
|
-5.70711
|
-0.0190
|
0.0000
|
0
|
3
|
Paradoxurus
hermaphroditus
|
1
|
0.0033
|
-5.70711
|
-0.0190
|
0.0000
|
0
|
Jumlah spesies
|
3
|
-0.0445
|
|||||
Jumlah individu
|
301
|
||||||
Indeks keanekaragaman H'
|
0.0445
|
rendah
|
|||||
Indeks kemerataan E
|
0.0405
|
rendah
|
Keterangan: Indeks
keanekaragaman (H’)
·
H’
< 1 = Rendah
·
H’
< 3,3 = Sedang
·
H’
> 3,3 = Tinggi
Indeks Kemerataan (E)
·
E
< 0,3 = Rendah
·
E
= 0,3-06 = Sedang
·
E
> 0,6 = Tinggi
Dari tabel dan grafik di atas dapat
di lihat bahwa kelimpahan jenis mamalia di daerah hutan Solear hanya terdapat
tiga spesies yaitu monyet ekor panjang (macaca
facicularis), tupai (Tupaia javanica) dan musang
pandan (Paradoxurus hermaphrodites). Jumlah
individu tertinggi di daerah hutan solear adalah jenis dari monyet ekor panjang
(macaca facicularis) yaitu 299 ekor.
Jumlah individu terkecil adalah jenis tupai (Tupaia javanica) dan musang pandan (Paradoxurus hermaphrodites) yaitu 1 ekor. Pengujian terhadap
nilai indeks keanekaragaman mamalia di hutan Solear, didapatkan nilai-nilai
pada indeks keanekaragaman sebesar 0.0445 dan nilai indeks kemerataan sebesar
0.0405. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat diketahui bahwa,
keanekaragaman mamalia di hutan Solear di kategorikan rendah.
Pembahasan
Nilai indeks keanekaragaman Shanon Wiener menunjukan
bahwa keanekaragaman jenis mamalia di kawasan hutan Solear tergologong rendah
(Tabel 1). Menurut Soerianegara (1996) keanekaragaman jenis dikatakan tinggi
bila memiliki nilai indeks Shanon Wiener lebih dari 3,5. Faktor yang
mempengaruhi rendahnya keanekaragaman mamalia di hutan Solear bisa
diakibatkan karena luas wilayah nya yang
sempit hanya 4,2 ha. Faktor luasan mempengaruhi nilai indeks yang dimiliki
(Zorenko & Leontyeva, 2003). Selain itu kondisi hutan Solear cenderung
telah terganggu karena hutan yang difungsikan juga sebagai tempat ziarah sehingga
banyak masyarakat atau pengunjung dari luar kota yang datang serta banyaknya
pedagang yg ada di dalam hutan tersebut yang menawarkan dagangan mereka ke
pengunjung mengakibatkan sampah dari dagangan mereka berserakan di dalam hutan.
Hal ini yang menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat bertahan
dalam kondisi yang terganggu. Tobing (2002) menyatakan bahwa jenis yang dapat
beradaptasi pada gangguan maka akan tetap lestari. Terlihat spesies jenis Macaca facicularis jumlahnya lebih
dominan dibandingkan spesies dengan jenis yang lainnya karena Macaca facicularis dapat beradaptasi
dengan kondisi hutan tersebut. Selain itu lokasi hutan dekat dengan pemukiman
penduduk, maka banyak warga yang menebang beberapa pohon yang berada di hutan
Solear untuk di manfaatkan kayunya sebagai nilai ekonomi untuk mereka. Penebangan
pohon juga menjadi salah satu faktor yang mengganggu habitat fauna di sana
khusus nya untuk jenis mamalia yang keanekaragamannya di golongkan rendah.
Fitria (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman suatu tipe habitat dan kualitas
habitat akan berpengaruh terhadap jumlah jenis satwa liar. Indikator habitat
yang baik adalah tersedianya sumber pakan yang cukup, baik dari segi kelimpahan
jenis maupun jumlah (Heriyanto & Iskandar, 2004).
BAB V
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan selama tiga hari di hutan
Solear dapat di simpulkan bahwa jenis mamalia yang ditemukan pada hutan
tersebut hanya terdapat tiga spesies yaitu monyet ekor panjang (macaca
facicularis), tupai (Tupaia javanica) dan musang
pandan (Paradoxurus hermaphrodites). Mamalia
hutan Solear tergolong rendah hal itu di sebabkan karena beberapa faktor
diantaranya luas hutan yang sempit, gangguan dari manusia berupa sampah yang
berserakan di dalam hutan dan penebangan pohon secara liar sehingga mengganggu
habitat satwa disana khususnya jenis mamalia.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1990. Pengelolaan
Satwaliar Jilid I. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Hal:
31-54.
BAPPENAS. 2003. Strategi dan
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: BAPPENAS.
Bourliere F. 1975. Ecology
of Population. Macmillan Publishing Co, Inc. New York.
Faldhamer GA, LC Drickamer, SH Vessey and JF Merritt. 1999. Mammalogy: Adaptation, Diversity and Ecology.
Boston: McGraw-Hill.
Fithria, A. 2003. Keanekaragaman jenis satwa liar di areal hutan
PT. Elbana Abadi Jaya Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Rimba Kalimantan 9(1): 63-67
Heriyanto, NM. & S. Iskandar. 2004. Status populasi dan
habitat surili (Presbytis comate) di kompleks hutan Kalajaten, Karang ranjang,
Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1 (1): 89-98
Jasin M. 1992. Zoologi
Vertebrata untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. New York:
John wilwy & Sons.
Odum EP. 1997. Dasar-dasar
Ekologi. Terjemahan Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soerianegara, I. 1996. Ekologi,
Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Management Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tobing, ISL. 2002. Respon Primata terhadap kehadiran manusia di
kawasan Cikanik, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 6(1): 99-105
Zorenko, T. & T. Leotyeva. 2003. Species diversity and
distribution of mammals in Riga. Acta
Zoologica Lituanica 13(1):78-86